Oleh: Ariya Ilham | 6 September 2009

Harapan Minimal untuk Dewan

Sejak awal Agustus lalu, satu demi satu DPRD hasil Pemilu 2009 telah dilantik. Bukannya diliputi rasa senang dan bangga, banyak pelantikan yang diwarnai demonstrasi. Banyak demonstran yang tidak berhasil menembus barikade polisi untuk mempertemukan mereka dengan para wakil rakyat baru. Demonstrasi tersebut cukup beralasan karena masyarakat amat langka mendengar inisiatif brilian dari para wakil rakyat. Sebaliknya, mereka lebih terkenal karena kasus-kasus pidana secara individu maupun kolektif. ICW mencatat, lebih dari 1.600 anggota dewan kena kasus korupsi sampai akhir 2008. Kini citra dewan itu makin diperburuk banyaknya mantan anggota dewan yang enggan mengembalikan mobil dinas dan fasilitas lain dengan berbagai alasan. Rasa malu mereka, agaknya, sudah tak ada. Sampai-sampai KPK menyampaikan imbauan agar fasilitas negara itu segera dikembalikan kalau tidak mau berurusan dengan pidana alias korupsi.

Tidak dipercaya

Demonstrasi saat pelantikan DPRD di Jawa Timur setidaknya terjadi di Jember, Kabupaten Blitar, Sumenep, Pamekasan, Tuban, dan Bojonegoro. Peristiwa serupa terjadi di Maros, Mamuju, Sleman, Bekasi, dan Kudus. Demonstrasi di Banggai, Pekalongan, dan Palangkaraya bahkan diwarnai kericuhan. Berdasar hasil analisis isi pemberitaan media massa, seluruh isu yang diangkat para pengunjuk rasa tersebut bermuara pada krisis kepercayaan terhadap DPRD periode sebelumnya. Menariknya, 28 persen isu yang diangkat menyangkut isu-isu lokal. Misalnya, penolakan demonstran di Sumenep terhadap BPW Suramadu yang dibentuk presiden. Juga, isu tingginya pengangguran warga lokal di tengah industrialisasi di Bekasi. Isu terbanyak kedua menyangkut catatan buruknya kinerja DPRD periode sebelumnya, yakni 24 persen. Pengunjuk rasa menilai kinerja tiga fungsi utama DPRD masih rendah. Fungsi pembuatan kebijakan, penganggaran, dan pengawasan dinilai belum berpihak pada masyarakat. Isu menonjol berikutnya menyangkut masalah praktik korupsi dan rendahnya kualitas perda. Frekuensinya masing-masing 20 persen. Pengunjuk rasa, umumnya, menuntut DPRD baru bersih dari tindak korupsi. Terkait kebijakan, demonstran mendesak keberpihakan publik daripada kepentingan pribadi dan golongan dalam pembuatan perda. Sementara itu, sisanya terkait realisasi janji politik DPRD selama masa kampanye. Survei publik yang diselenggarakan The Jawa Pos Institute of Pro-Otonomi (JPIP) menunjukkan hasil serupa. Survei mengungkap bahwa kinerja fungsional DPRD kabupaten dan kota di Jatim periode 2004-2009 tidak lebih baik daripada periode sebelumnya. Responden tidak setuju bahwa kinerja DPRD telah berdampak pada kemajuan daerah. Lebih detail, mereka menyatakan bahwa produk regulasi (perda) yang dihasilkan tidak mampu mengangkat kualitas hidup masyarakat. Responden juga tidak setuju bahwa pengawasan terhadap eksekutif dan birokrasi telah menciptakan pemerintahan yang efektif dan bersih. Terakhir, masyarakat menilai alokasi anggaran yang dikawal dan ikut ditentukan DPRD belum berpihak pada masyarakat. Makin terbukalah wajah DPRD sesungguhnya. Selain menyangkut jeleknya kualitas kinerja, persoalan rendahnya integritas terus menyertai perjalanan DPRD. Dengan demikian, perbaikan dua masalah utama tersebut menjadi tanggung jawab DPRD yang baru saja dilantik.

Publik, Bukan Politik

Kesalahan besar yang selama ini tertanam dalam benak para legislator adalah menganggap bahwa lembaga legislatif sebagai lembaga politik. Sebagai lembaga politik, pengambilan kebijakan lebih banyak menggunakan pertimbangan politik daripada substansi masalah. Alhasil, tidak jarang kebijakan tersebut menimbulkan resistansi masyarakat. Demikian juga, sebagai lembaga politik, legislatif merasa mafhum bila terjadi tawar-menawar dan imbal balik politik antarfraksi. Atau, dengan pihak eksekutif yang saling menguntungkan secara politik dan ekonomi. Maka, tidak mustahil pertimbangan kemanfaatan publik menjadi terabaikan. Mengingat rendahnya kepercayaan publik terhadap DPRD, kini saatnya keluar dari paradigma lama tersebut. DPRD semestinya menanggalkan cara berpikir sebagai agen politik. Lalu, beralih pada paradigma baru sebagai lembaga publik. Konsekuensinya, setiap proses kebijakan daerah tidak sekadar melahirkan keputusan politik, melainkan sebagai keputusan publik. Yakni, keputusan yang berpihak dan menghasilkan manfaat masyarakat. Itu saja, tak usah muluk-muluk. Dalam menjalankan fungsi legislasi, misalnya, DPRD bisa mencegah terbitnya perda yang membebani masyarakat. Sebaliknya, DPRD harus mendorong perda yang mempercepat pembangunan daerah dan memperbaiki pelayanan publik. DPRD juga perlu mendorong perda yang berpihak pada warga miskin dalam pelayanan pendidikan, kesehatan, dan ekonomi produktif. Untuk melakukan fungsi kontrol, DPRD perlu keluar dari mekanisme pengawasan konvensional. Melalui kemitraan dengan lembaga non pemerintah, DPRD bisa mengembangkan teknik-teknik pengawasan objektif dalam penetapan dan penggunaan anggaran serta pengawasan proyek-proyek pembangunan. Dengan begitu, fungsi kontrol berjalan efektif dan mampu menekan dominasi kepentingan individu dan golongan. Fungsi pengawasan tidak semata ditujukan pada kegiatan eksekutif dan birokrasi. DPRD perlu pula mengontrol kegiatan sektor swasta yang bisa berdampak pada kepentingan publik. Misalnya, dalam pengelolaan limbah. Agar tidak menjadi tirani, DPRD perlu memfasilitasi pencegahan tindakan-tindakan inkonstitusional. Baik yang mengatasnamakan masyarakat maupun organisasi kemasyarakatan. Terakhir, dalam menjalankan kegiatan penganggaran, DPRD harus selalu berpegang pada keberpihakan publik. DPRD tidak cukup sekadar mengalokasikan anggaran pada prioritas kebutuhan mendesak. DPRD sangat penting mendorong penganggaran yang partisipatif, transparan, dan akuntabel. Tujuannya, alokasi anggaran berdampak pada kemajuan daerah dengan tetap memperhatikan kalangan rentan dan lemah (duafa).


Tinggalkan komentar

Kategori