Oleh: Ariya Ilham | 22 Februari 2010

Karakter Kebijakan Pendidikan Nasional

A. Kebijakan

Kebijakan ( Policy ) seringkali disamakan dengan istilah seperti politik, program, keputusan, undang – undang, aturan, ketentuan – ketentuan, kesepakatan, konvensi, dan rencana strategis.

Sebenarnya dengan adanya definisi yang sama di kalangan pembuat kebijakan, ahli kebijakan, dan masyarakat yang mengetahui hal tersebut tidak akan menjadi sebuah masalah yang kaku. Namun, untuk lebih memperjelas bagi semua orang yang akan berkaitan dengan kebijakan, maka alangkah baiknya definisi policy haruslah dipahamkan.

Menurut United Nations (1975), kebijakan adalah suatu deklarasi mengenai suatu dasar pedoman bertindak, suatu arah tindakan tertentu, suatu program mengenai aktifitas – aktifitas tertentu atau suatu rencana. Kebijakan menurut James E. Anderson (1978) adalah perilaku dari sejumlah aktor ( pejabat, kelompok, instansi pemerintah ) atau serangkaian actor dalam suatu bidang kegiatan tertentu. Sedangkan menurut Prof. Heinz Eula dan Kenneth Prewith, kebijakan adalah a standing decision characterized by behavioral consistency and repetitivines on the part of both those who make it and those who abide by it.

B. Kebijakan Negara

Kemudian, mengenai kebijakan negara; di mana hal itu adalah sebuah konsep yang berlaku dalam sebuah Negara ( Nation ), maka berikut ini adalah dua definisi tentang kebijakan negara. Menurut W.I. Jenkins (1978), kebijakan negara adalah a set of interrelated decisions taken by a political actor or group of actors concerning the selection of goals and the means of achieving them within a specified situation where these decisions should, in principle, be within the power of these actors to achieve. ( seperangkat keputusan – keputusan yang saling berhubungan antar satu sama lainnya yang dibuat oleh para pelaku politik (politisi) atau kelompok politisi menyangkut pemilihan tujuan dan orientasi pencapaian tujuan tersebut dalam situasi khusus di mana keputusan itu berada, secara prinsipil, berada dalam kekuasaan para politisi ini ). Sedangkan kebijakan negara menurut Chief J.O. Udouji (1981) adalah a sanctioned of action addressed to a particular problem or group of related problems that effect society at large. ( sebuah rangkaian keputusan dalam hal pelaksanaan yang ditujukan untuk sebagian masalah atau sekolompok masalah – masalah (yang saling berkaitan) di mana seluruh masalah itu mempengaruhi masyarakat banyak ).

C. Kebijakan Pendidikan

Carte V. Good (1959) menyatakan, Educational policy is judgment, derived from some system of values and some assessment of situational factors, operating within institutionalized education as a general plan for guiding decision regarding means of attaining desired educational objectives.

Menurut pernyataan di atas, kebijakan pendidikan adalah suatu penilaian terhadap system nilai dan faktor – faktor kebutuhan situasional, yang dioperasikan dalam sebuah lembaga perencanaan umum panduan dalam mengambil keputusan, agar tujuan pendidikan yang dinginkan bisa dicapai.

Hal menarik lainnya dapat disimak dalam sebuah konstitusi Jepang, yakni undang – undang pendidikan yang ditetapkan pada tahun 1947. Pokok – pokok undang – undang tersebut adalah :

  1. Prinsip Legalisme,
  2. Prinsip Administrasi yang Demokratis,
  3. Prinsip Netralitas,
  4. Prinsip Penyesuaian dan Penetapan Kondisi Pendidikan,
  5. Prinsip Desentralisasi. (Research and Statistic Planning Division, Ministry of Education, Science, Sports and Culture of Japan, 2000).

Prinsip yang pertama menetapkan bahwa mekanisme pengelolaan diatur dengan undang – undang dan peraturan – peraturan. Sebelum Perang Dunai II masalah pendidikan diputuskan oleh Peraturan Kekaisaran dan pendapat parlemen sedangkan warga negara diabaikan. Namun, setelah reformasi pendidikan pasca perang urusan pendidikan diatur oleh undang – undang dan peraturan di parlemen. Prinsip kedua mengindikasikan bahwa system administrasi pendidikan harus dibangun berdasarkan consensus nasional dan mencerminkan kebutuhan masyarakat dalam membuat formulasi kebijakan pendidikan dan prosesnya. Prinsip ketiga menjamin bahwa kewenangan pendidikan harus independen dan tidak dipengaruhi dan diinterfensi oleh kekuatan politik. Prinsip keempat mengindikasikan bahwa pemegang kewenangan pusat dan lokal mempunyai tanggung jawab untuk menyediakan kesempatan pendidikan yang sama bagi semua dengan menyediakan fasilitas – fasilitas pendidikan yang cukup untuk mencapai tujuan pendidikan. Prinsip kelima menyatakan bahwa pendidikan harus dikelola berdasarkan otonomi pemerintah lokal karena pendidikan merupakan fungsi dari pemerintah lokal.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kebijakan pendidikan adalah suatu produk yang dijadikan sebagai panduan pengambilan keputusan yang legal – netral dan disesuaikan dengan lingkungan hidup pendidikan secara moderat.

D. Kriteria Kebijakan Pendidikan

Kebijakan pendidikan memiliki karakteristik yang khusus, yakni :

1. Memiliki tujuan pendidikan

Kebijakan pendidikan harus memiliki tujuan pendidikan, namun lebih khusus, bahwa kebijakan pendidikan harus memiliki tujuan pendidikan yang jelas dan terarah untuk memberikan kontribusi pada pendidikan.

2. Memenuhi aspek legal – formal

Kebijakan pendidikan tentunya akan diberlakukan, maka perlu adanya pemenuhan atas pra – syarat yang harus dipenuhi agar kebijakan pendidikan itu diakui dan secara sah berlaku untuk semua wilayah. Maka, kebijakan pendidikan harus memenuhi syarat konstitusional sesuai dengan hirarki konstitusi yang berlaku di sebuah wilayah sehingga dapat dinyatakan sah dan resmi berlaku di wilayah tersebut dan dapat dimunculkan suatu kebijakan pendidikan yang legitimat.

3. Memiliki konsep operasional

Kebijakan pendidikan sebagai sebuah panduan yang bersifat umum, tentunya harus mempunyai manfaat operasional agar dapat diimplementasikan dan ini adalah sebuah keharusan untuk memperjelas pencapaian tujuan pendidikan yang ingin dicapai. Apalagi kebutuhan akan kebijakan pendidikan adalah fungsi pendukung pengambilan keputusan.

4. Dibuat oleh yang berwenang

Kebijakan pendidikan itu harus dibuat oleh para ahli di bidangnya yang memiliki kewenangan untuk itu, sehingga tak sampai menimbulkan kerusakan pada pendidikan. Para administrator pendidikan, pengelola lembaga pendidikan, dan para politisi yang berkaitan langsung dengan pendidikan adalah unsur – unsur minimal pembuat kebijakan pendidikan.

5. Dapat dievaluasi

Kebijakan pendidikan itupun tentunya tidak lepas dari keadaan yang sesungguhnya untuk ditindak lanjuti. Jika baik, maka dipertahankan atau dikembangkan, sedangkan jika mengandung kesalahan, maka harus bisa diperbaiki. Sehingga, kebijakan pendidikan memiliki karakter dapat memungkinkan adanya evaluasi terhadap kebijakan pendidikan tersebut secara mudah dan efektif.

  1. Memiliki sistematika

Kebijakan pendidikan tentunya merupakan sebuah system juga, oleh karena itu harus memiliki sistematika yang jelas menyangkut seluruh aspek yang ingin diatur. Sistematika itupun dituntut memiliki efektifitas, efisiensi dan substansibilitas yang tinggi agar kebijakan pendidikan itu tidak bersifat pragmatis, diskriminatif dan rapuh strukturnya akibat serangkaian faktor yang atau saling berbenturan satu sama lainnya. Hal ini harus diperhatikan dengan cermat agar pemberlakuannya kelak tidak menimbulkan kecacatan hokum secara internal. Kemudian secara eksternalpun kebijakan pendidikan harus sepadu dengan kebijakan lainnya, seperti kebijakan politik, kebijakan moneter, bahkan kebijakan pendidikan di atasnya atau di sampingnya dan dibawahnya.

E. Anatomi kebijakan pendidikan Indonesia

Pada dasarnya bahwa kebijakan pendidikan pemerintah Indonesia 2004 – 2009 yang memiliki orientasi basis ekonomi sesuai dengan Rencana Strategis Pendidikan Nasional 2005 – 2009 mengacu pada amanat UUD 1945, amandemen ke – 4 pasal 31 tentang Pendidikan; Ketetapan MPR Nomor VII/MPR/2001 tentang Visi Indonesia Masa Depan; Undang – Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas); Undang – Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara; Undang – Undang Nomor 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional; UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah; UU Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah; UU Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen; PP Nomor 20 tahun 2004 tentang Rencana Kerja Pemerintah; PP Nomor 21 tahun 2004 tentang Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian / Lembaga; dan PP Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.

Setiap kebijakan yang berkaitan dengan pendidikan akan berdampak pada pengambilan keputusan oleh para pembuat kebijakan dalam bidang pendidikan, baik di tingkat makro (nasional), tingkat messo (daerah), dan tingkat mikro (satuan pendidikan).

Keberadaan MPR RI sebagai sebuah lembaga Negara yang memiliki kewenangan untuk membuat sebuah kebijakan paling tinggi di Indonesia tentunya sangat mempengaruhi eksistensi dan prosesi pendidikan yang diharapkan memiliki standar mutu yang layak di dalam lingkungan masyarakat dalam negeri dan luar negeri. Kemudian keberadaan DPR, DPD dan pemerintah pusat yang dipimpin oleh Presiden yang dibantu oleh wakil presiden, jajaran kementerian, dan jajaran badan / lembaga kelengkapan eksekutif Negara adalah para pembuat kebijakan yang bisa mempengaruhi dunia pendidikan Indonesia.

Namun khususnya pada tingkat makro, para pengambil keputusan khusus masalah pendidikan di tingkat DPR RI adalah Komisi X, Presiden RI, dan Menteri Pendidikan Nasional RI selaku pemimpin Departemen Pendidikan Nasional. Sehingga segala bentuk kebijakan pendidikan nasional yang dihasilkan oleh ketiga elemen ini akan mempengaruhi kebijakan pendidikan di seluruh daerah dan seluruh satuan pendidikan di Indonesia.

Adapun dengan peran pengambil kebijakan yang bisa mempengaruhi masalah pendidikan di tingkat daerah adalah DPRD dan Pemerintah Daerah (Pemda). Khususnya dalam masalah pendidikan, posisi Komisi E di DPRD dan Dinas Pendidikan di Pemda sangat berperan untuk menfasilitasi adanya pemberlakuan kebijakan pendidikan di daerahnya masing – masing yang didasari oleh peraturan perundang – undangan dari hasil permusyawaratan policy maker nasional.

Akhirnya, keberadaan satuan pendidikanpun tidak kalah pentingnya untuk membuat kebijakan pendidikan yang akan mempengaruhi fenomena pendidikan yang berlangsung di satuan pendidikannya masing – masing.


Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

Kategori

%d blogger menyukai ini: