Ada sinyal positif bagi para honorer non APBN/APBD yang memiliki SK pengangkatan minimal 1 Januari 2005 dan hingga saat ini dinyatakan masih aktif bekerja. Upaya ini setidaknya memberikan harapan baru bagi para sukarelawan dan tenaga honor yang bekerja di berbagai instansi terkait. Sebuah kenyataan yang tidak bisa dipungkiri di tengah-tengah kehidupan masyarakat sebuah negara yang kondisi lapangan kerjanya super menyedihkan. Tuntutan biaya hidup semakin tinggi tidak diimbangi dengan peningkatan pendapatan ekonomi membuat timbulnya gejolak sosial yang intensitasnya semakin tinggi. Sehingga imbasnya dapat merembet pada tindak kriminalitas dan pemilihan jalan hidup yang serba pintas. Para pelaku usaha, buruh dan penjual jasa tidak mempunyai pilihan yang lebih luas dalam meniti karirnya sebagai upaya meningkatkan taraf hidupnya yang lebih baik. Akhirnya dengan cara sabar tak sabar sambil tetap berharap pada suatu saat akan ada pengangkatan meraih jabatan yang lebih pantas dan layak sesuai dengan darma bakti yang diberikan, para karyawan dan tenaga honorer terpaksa harus hidup bertahan selama puluhan tahun dalam kondisi sangat melarat. Jika kita melakukan hitung-hitungan rasional dari angka pendapatan yang rutin diterima sebagai gaji seorang honorer dengan jumlah pengeluaran sehari-hari yang harus dikeluarkan, tentu sangatlah ‘mengenaskan’. Dengan demikian jika kondisi ini tetap dibiarkan berlarut-larut, maka jelas angka kemiskinan di Indonesia tidak akan pernah berkurang. –coba kita buktikan dari angka riil hasil final sensus penduduk tahun 2010- Apa yang menyebabkan jurang pemisah antara si kaya dan si miskin semakin lebar? Bagaimana solusinya agar segala program pemerintah yang menyangkut peningkatan kesejahteraan masyarakat tepat sasaran?
Tenaga Honorer yang Lanjut Usia jangan dijegal
Ironis sekali dari masa sekolah di SMP dulu hingga saat ini masih memiliki beberapa orang guru yang berstatus honorer. Meskipun penulis saat ini juga masih berstatus ’sukwan’ akan tetapi Demi Allah, saya sangat rela jika guru-guru kami tersebut diangkat terlebih dahulu. Kiranya para pihak dan instansi terkait tidak perlu ribet menuntut itu dan ini, yang penting ijazah memadai langsung mereka dipanggil. Sejujurnya, barangkali kita bisa mengatakan bahwa sebagus apapun data kelengkapan administrasi fisik yang diberikan kepada dinas terkait dalam memenuhi persyaratan untuk pengangkatan tenaga honorer, pasti sekian persen ada data yang dimanipulasi. Untuk itu akan lebih obyektif jika dinas apapun yang berwenang untuk memilih dan menentukan honorer yang akan diangkat, sebaiknya membentuk tim khusus –pansus atau apalah istilahnya– yang langsung terjun ke lapangan tempat instansi-instansi yang di dalamnya ada tenaga honorernya. Para tenaga honorer itu sebenarnya memiris perasaannya, menjerit hatinya. Bukan berarti mereka tidak tahu ketika mendapatkan data dan informasi akurat mengenai praktik-praktik kolusi yang dilakukan oknum-oknum dalam pelaksanaan rekruitmen CPNS. Sehingga dari belasan tahun mereka mengabdikan dirinya, maka belasan kali pula mereka disalip dari ‘jalur kiri’ oleh pegawai baru –yang kualitas dan pengalaman kerjanya tentu lebih senior– Karena saking lemahnya situasi dan kondisi para honorer itu, akhirnya mereka tak punya daya dan kuasa, sekalipun untuk bersuara atau berunjuk rasa. Bisa dibayangkan jika seorang honorer di daerah memiliki gaji Rp 150.000,- sebulan, misalnya dituntut untuk melalukan unjuk rasa ke Jakarta melalui wakil rakyat atau pemerintah, maka hal ini tentu akan sangat berat untuk dilakukan. Kepada dinas dan instansi terkait dimohon dalam pelaksanaan kebijakan ini agar sudilah kiranya menggunakan hati nurani. Camkanlah bahwa lebih banyak orang teraniaya maka jeritan doanya akan lebih cepat menembus langit. Berlaku adillah, takutlah kepada Allah. Ingat, hidup kalian di dunia ini hanyalah sebentar.
Tinggalkan Balasan