Oleh: Ariya Ilham | 29 Maret 2009

Suap – Menyuap di Negeri Ini

Pusat Studi Pengembangan Kawasan ( PSPK ) Jakarta pernah melakukan penelitian pada 2001 di tujuh kota. Yaitu Jakarta, Bandung, Surabaya, Padang, Medan, Semarang, dan Pontianak. Penelitian itu ingin mengungkap budaya korupsi dalam konteks wacana sehari – hari.
Salah satunya hasilnya, terungkap ada 40 peribahasa yang tumbuh subur di masyarakat, yang cenderung kompromistis terhadap langgengnya korupsi. Disebut cenderung komprimistis setelah terjadi distorsi dari makna yang sebenarnya peribahasa tersebut.
Salah satu contoh peribahasa yang disebut dalam penelitian itu : jer basuki mawa bea. Peribahasa Jawa itu sebenarnya punya makna yang sangat positif, yakni jika ingin sukses, harus berani berkorban.
Tapi menurut penelitian itu, setelah terjadi distorsi makna, maka peribahasa teresbut disalahgunakan sebagai “pemaklum” untuk praktik – praktik penyuapan. Menyuap dianggap sebagai sebuah bentuk pengorbanan jika ingin urusannya lancar.
Ketika mengikuti ramainya pemberitaan seputar kasus suap yang belakangan ini terjadi, coba kita tengok lagi hasil dari penelitian PSPK itu. Kita lihat saja kasus suap teranyar yang berhasil diungkap KPK ( Komisi Pemberantasan Korupsi ), yang menimpa anggota KPPU ( Komisi Pengawas Persaingan Usaha ) M. Iqbal.
Pada 16 September lalu, dia ditangkap KPK setelah menerima uang ? 500 juta dari Billy Sindoro, mantan Presdir PT First Media Tbk, penyedia layanan broadband internet dan televisi kabel milik Grup Lippo.
Menurut KPK, uang itu dikategorikan sebagai suap karena diterima Iqbal terkait keputusan KPPU yang menguntungkan jaringan perusahaan PT First Media Tbk. Hingga kini, penyidikan kasus tersebut sedang dilakukan.
Sebelum mencuatnya kasus Iqbal, bau suap yang lain juga menyengat di balik terpilihnya Miranda Swaray Goeltom sebagai deputi gubernur senior Bank Indonesia. Adalah Agus Condro yang secara lantang “menyanyi” dan mengungkap dosanya pada masa lampau. Dia mengaku menerima uang ? 500 juta setelah komisi tempatnya berkiprah ( Komisi keuangan DPR ) saat itu meloloskan Miranda menjadi deputi gubernur senior Bank Indonesia.
Agus mengatakan uang yang diterimanya itu pasti ada kaitan dengan lolosnya Miranda. Hingga kini KPK menyelidiki kebenaran “nyanyian” Agus.
Melihat dua kasus suap tersebut setidaknya menyisakan dua catatan. Pertama kasus suap yang mencuat itu selalu melibatkan oknum di lembaga atau instansi strategis. Pola yang terjadi si oknum memanfaatkan kewenangan dan jabatan untuk membuka peluang bagi terjadinya “transaksi”.
Jika transaksi itu dibahasakan, kalimat yang diucapkan si oknum kira – kira begini : “Aku punya jabatan dan kewenangan. Siap saja yang ingin mendapatkan ‘berkah’ dari jabatan dan kewenanganku maka berkorbanlah”. Dari situlah bisa jadi lantas muncul “habit” suap – menyuap sebagai wujud dari pengorbanan yang sudah mengalami distorsi makna .
Catatan kedua, si oknum yang disuap sering terkesan muncul sebagai pelaku tunggal. Padahal dia berkiprah di sebuah instansi atau lembaga yang notabene dibentuk dalam sebuah sistem sehingga pasti berinteraksi dengan beberapa orang.
Sebut saja dalam kasus suap anggota KPPU M. Iqbal. Mari kita uji dengan beberapa pertanyaan berikut ini : mungkinkah Iqbal dalam kasus tersebut bermain sendiri? Mungkinkah ada oknum lain di KPPU yang ikut bermain bersama Iqbal? Jika Iqbal memang bermain sendiri, cukup “sakti”kah dia untuk bisa mengatur keputusan KPPU sehingga menguntungkan pihak yang menyuap?
Marilah kita berharap agar supaya KPK merunut jawaban atas pertanyaan – pertanyaan tersebut sehingga bisa menuntaskan penyidikan kasus Iqbal.
Contoh lain adalah dugaan kasus suap di balik terpilihnya Miranda S. Goeltom. Hingga kini oknum anggota DPR yang menerima suap terkesan hanya si Agus Condro. Betapapun Agus Condro berteriak bahwa tidak hanya dirinya yang menerima suap ( dia menyebut beberapa nama yang satu komisi dengannya, seperti Tjahjo Kumolo, Dudhie Makmun Murod, dan Emir Moeis). Tetapi hingga kini baru Agus Condro yang secara jelas menerima uang tersebut. Itupun karena dia mengaku. Sementara orang – orang yang disebut Agus ramai – ramai menbantah.


Tanggapan

  1. Pernah baca Aku Malu (jadi) Orang Indonesianya Taufik Ismial
    berikut sepenggal baitnya :
    ……………………………………
    Di negeriku, selingkuh birokrasi peringkatnya di dunia nomor satu,
    Di negeriku, sekongkol bisnis dan birokrasi
    berterang-terang curang susah dicari tandingan,
    Di negeriku anak lelaki anak perempuan, kemenakan, sepupu
    dan cucu dimanja kuasa ayah, paman dan kakek
    secara hancur-hancuran seujung kuku tak perlu malu,
    Di negeriku komisi pembelian alat-alat berat, alat-alat ringan,
    senjata, pesawat tempur, kapal selam, kedele, terigu dan
    peuyeum dipotong birokrasi
    lebih separuh masuk kantung jas safari,
    ………………………………………

    he he…. what must i do for this?

    • Sekarang lah saatnya kita untuk memilih pemimpin, kita jangan asal – asalan dalam memilih pemimpin, biar tidak seperti puisinya Taufik Ismail
      He..he..
      Thanks ya commentnya


Tinggalkan Balasan ke ariyailham09 Batalkan balasan

Kategori